Rabu, 09 Februari 2011

AQIDAH AHLUS SUNNAH bag. II

Pembaca yang budiman, pada bulan lalu kita telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah, kali ini kita akan menyampaikan aqidah ahlus sunnah yang lain. Semoga bermanfaat

33. (Muhammad)Kekasih Rabb sekalian alam.

34. Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

35. Beliau diutus kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, denganmembawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.

36. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak
diketahui kaifiyah (bagaimana)nya, diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani
oleh kaum mukminin dengan sebenar-benarnya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi
yang sesungguhnya. Bukanlah sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya.
Barangsiapa yang mendengarnya (mendengar bacaan Al-Qur’an) dan menganggap itu
sebagai ucapan makhluk, maka ia telah kafir. Allah sungguh telah mencelanya,
menghinanya, dan mengancamnya dengan Naar (Neraka) Saqar. Allah berfirman:
“Aku akan memasukkan ke dalam (Naar) Saqar.” (QS. Al-Muddatsir: 26). Allah mengancam
mereka dengan Naar Saqar tatkala mereka mengatakan:
“Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Muddatsir : 25). Dengan itu
kita pun mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan
tidak menyerupai ucapan manusia.

37. Barangsiapa yang mensifati Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia sungguh telah kafir. Barangsiapa yang memahami hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan
dapat menghindari ucapan yang seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidaklah seperti makhluk-Nya.

38. Melihat Allah adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa
dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami
hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al-Qur’an:
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah.
Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya
adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk
mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa
nafsu kita.

39. Sesungguhnya seseorang tidak akan selamat dalam agamanya, sebelum ia berserah diri
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang
yang mengetahuinya.

40. Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan
kepada Allah.

41. Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya
untuk pasrah, maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk
memurnikan tauhid, menjernihkan ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan.

42. Maka menjadilah ia orang yang terombang-ambing antara keimanan dan kekufuran,
pembenaran dan pendustaan, pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tidak
bisa dikatakan ia membenarkan dan beriman, tidak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.

43. Tidak sah keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandangRabb mereka, yang semata-mata ditegakkan di atas prasangka (keragu-raguan)
menganggapnya sebagai ‘praduga’ atau takwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran
‘penglihatan’ itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb,
haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran
dien/keyakinan kaum muslimin.

44. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian Asma’ dan shifat Allah atau menyerupakan-
Nya dengan makhluk-Nya, dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.

45. Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah
(Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari
hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

46. Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk,
anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang
mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.

47. Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan
dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke
tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan
mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan.
“Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dilihatnya.” (QS. An-Najm: 11).
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.

48. Haudh (telaga) Al-Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi
umatnya- adalah benar adanya.

49. Syafa’at yang diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar adanya sebagaimana
diriwayatkan dalam banyak hadits.

50. Perjanjian yang diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka
dilahirkan-pent.) adalah benar adanya.

51. Semenjak zaman yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan
masuk Jannah dan yang akan masuk Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan
bertambah atau berkurang. Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah
Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
52. Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang berbahagia dengan ketentuan kodratnya. Demikian juga orang yang celaka adalah yang celaka dengan ketentuan kodratnya.

53. Asal dari takdir adalah rahasia Ilahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Tak dapat
diselidiki baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya.
Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga
keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Waspadai dan waspadailah seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikanbisikan tentang takdir tersebut. Sesungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.”
(QS. Al-Anbiyaa’: 23).
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Dia lakukan itu?”, berarti ia menolak hukum Al-
Qur’an. Barangsiapa menolak hukum Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

54. Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hatinya terang dari
kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Karena
ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama-pent.) dan ilmu
yang terselubung baginya (ilmu ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran.
Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan itu hanyalah
terpatri dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari
mencari ilmu yang terselubung.

55. Kita juga mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz, Al-Qalam, dan segala yang tercatat di
dalamnya.

56. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan untuk terjadi, agar urusan itu batal, mereka tak akan mampu untuk mengubahnya.
Sebaliknya seandainya mereka berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkan
untuk tidak terjadi, agar urusan itu terjadi, merekapun tidak akan mampu mengubahnya.
Qalam (catatan) Allah telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai
datangnya Hari Kiamat.

57. Sesuatu yang -ditakdirkan- tidak akan menimpa seorang hamba, maka tidak akan
menimpanya. Dan yang akan mengenainya, maka tidak akan meleset.

58. Hendaknya seorang hamba tahu bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa
berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat
membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, menggantinya, mengurangi,
ataupun menambahnya.

59. Itulah buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an dan ke-Rububiyyah-an Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan : 2). Dan firman-Nya:
“Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab : 38).

60. Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya.
Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia
telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi.
Akhirnya ia kembali dengan membawa dosa dan kedustaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar