Rabu, 09 Februari 2011

Tangan Kita Jauh Lebih Hebat dari Tangan Robot

 TSAQOFAH


Tangan kita, yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mengaduk secangkir teh, membuka halaman surat kabar, atau menulis, telah dirancang sedemikian sempurna.

Ciri terpenting tangan adalah kemamuannya bekerja sebaik-baiknya dalam beragam kegiatan. Dengan dilengkapi otot dan saraf yang sangat banyak, lengan membantu tangan kita memegang benda dengan erat atau longgar sesuai dengan keadaannya. Misalnya, tangan manusia yang terkepal dapat memukul dengan pukulan seberat 45 kg. Sebaliknya, melalui ibu jari dan jari telunjuk, tangan kita juga dapat merasakan sehelai kertas berketebalan sepersepuluh milimeter.

Jelas, kedua tindakan ini sangat berbeda sifatnya. Yang satu memerlukan kepekaan, sedang yang lain memerlukan kekuatan besar. Namun, kita tak perlu sedetik pun memikirkan apa yang perlu kita lakukan saat kita akan mengambil sehelai kertas dengan kedua jari atau memukul dengan kepalan. Kita pun tak perlu memikirkan cara menyesuaikan kekuatan tangan kita bagi kedua tindakan ini. Kita tak pernah berkata, "Sekarang saya hendak memungut sehelai kertas. Saya akan menerapkan kekuatan sebesar 500 g. Sekarang saya akan mengangkat seember air. Saya akan menerapkan kekuatan sebesar 40 kg." Kita tidak pernah repot-repot memikirkannya.

Tangan-tangan robot yang dihasilkan memiliki kekuatan yang sama dengan tangan manusia, tetapi tidak memiliki kepekaan sentuhan, kesempurnaan daya gerak, dan kemampuan melakukan beragam pekerjaan.

Alasannya adalah tangan manusia dirancang untuk melakukan semua tindakan ini secara bersamaan. Tangan diciptakan sekaligus dengan keseluruhan fungsi dan keseluruhan rancangan terkaitnya.

Semua jari tangan memiliki panjang, letak, dan kesesuaian yang pas satu sama lain. Contohnya, kekuatan kepalan yang dibentuk tangan dengan ibu jari normal itu lebih besar daripada kekuatan kepalan yang dibentuk tangan dengan ibu jari pendek. Ini karena, dengan panjang yang sesuai, ibu jari dapat menutupi jari-jari lainnya dan membantu menambah kekuatan dengan mendukung jari-jari yang lain.

Ada banyak seluk-beluk terperinci pada rancangan tangan: misalnya, tangan memiliki bagian-bagian pembentuk yang lebih kecil di samping otot dan saraf. Kuku pada ujung jari bukanlah hiasan sepele yang tidak memiliki kegunaan. Ketika memungut jarum dari lantai, kita menggunakan kuku maupun jari. Permukaan kasar pada ujung jari dan kuku membantu kita memungut benda kecil. Kuku memiliki peranan sangat penting dalam mengatur tekanan amat lemah yang dikerahkan jari pada benda yang dipegangnya. Keistimewaan khusus tangan lainnya adalah tangan tidak pernah kelelahan.

Insinyur Hans J. Schneebeli yang merancang tangan robot, yang dikenal sebagai "Tangan Karlsruhe", menyatakan bahwa semakin lama dia membuat tangan robot, semakin dia mengagumi tangan manusia. Dia menambahkan bahwa masih perlu waktu lama sampai kita dapat membuat tangan robot yang mampu melakukan sejumlah kecil saja pekerjaan yang dapat dilakukan tangan manusia..

Dunia kedokteran dan ilmu pengetahuan bersusah-payah berusaha membuat tangan tiruan. Sejauh ini, tangan-tangan robot yang dihasilkan memiliki kekuatan yang sama dengan tangan manusia, tetapi tidak memiliki kepekaan sentuhan, kesempurnaan daya gerak, dan kemampuan melakukan beragam pekerjaan.

Banyak pakar setuju kita tidak bisa membuat tangan robot yang memiliki fungsi tangan lengkap. Insinyur Hans J. Schneebeli yang merancang tangan robot, yang dikenal sebagai "Tangan Karlsruhe", menyatakan bahwa semakin lama dia membuat tangan robot, semakin dia mengagumi tangan manusia. Dia menambahkan bahwa masih perlu waktu lama sampai kita dapat membuat tangan robot yang mampu melakukan sejumlah kecil saja pekerjaan yang dapat dilakukan tangan manusia.

Biasanya, tangan manusia bekerja bersama-sama dengan mata. Sinyal yang sampai ke mata diteruskan ke otak dan tangan bergerak menurut perintah yang diberikan otak. Tentu saja, ini berlangsung dalam waktu sangat singkat dan tidak diperlukan usaha khusus untuk melakukannya. Di lain pihak, tangan robot tidak dapat bergantung pada penglihatan dan sentuhan. Untuk setiap gerakan diperlukan perintah yang berbeda-beda. Selain itu, tangan robot tidak mampu melakukan bermacam fungsi. Contohnya, tangan robot untuk bermain piano tidak dapat memegang palu, dan tangan robot untuk memegang palu tidak dapat memegang telur tanpa memecahkannya. Beberapa tangan robot yang terakhir dibuat hanya mampu melakukan 2-3 gerakan bersamaan, tetapi ini masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan kemampuan tangan manusia. Ketika Anda memikirkan kedua tangan yang bekerjasama secara selaras, kesempurnaan tangan ini akan lebih gamblang lagi.

Allah merancang tangan sebagai alat tubuh khusus bagi manusia. Dengan segala bagiannya, tangan manusia memperlihatkan kesempurnaan dan keunikan mahakarya ciptaan Allah.

Doa yang berhubungan dengan Pakaian

Doa dan Dzikir dari Al - Qur'an dan Sunnah
DOA KETIKA MENGENAKAN PAKAIAN

5-
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَسَانِيْ هَذَا (الثَّوْبَ) وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ.
 
5. “Segala puji bagi Allah yang memberi pakaian ini kepadaku sebagai rezeki daripadaNya tanpa daya dan kekuatan dariku.[14]
---------------------------------
[14] HR. Seluruh penyusun kitab Sunan, kecuali An-Nasai, lihat kitab Irwa’ul Ghalil 7/47.

________________________________________
3-DOA KETIKA MENGENAKAN PAKAIAN BARU 


6- اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ.
 
6. “Ya Allah, hanya milikMu segala puji, Engkaulah yang memberi pakaian ini kepadaku. Aku mohon kepadaMu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan yang ia diciptakan karenanya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan kejahatan yang ia diciptakan karenanya” [15]
---------------------------------
[15] HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Baghawi dan lihat Mukhtashar Syamaailit Tirmidzi, oleh Al-Albani, halaman 47.
________________________________________
 
4-DOA BAGI ORANG YANG MENGENAKAN PAKAIAN BARU 


7- تُبْلِي وَيُخْلِفُ اللهُ تَعَالَى.
 
7. Kenakanlah sampai lusuh, semoga Allah Ta’ala memberikan gantinya ke-padamu. [16]
 
8- اِلْبِسْ جَدِيْدًا، وَعِشْ حَمِيْدًا، وَمُتْ شَهِيْدًا.
 
8. “Berpakaianlah yang baru, hiduplah dengan terpuji dan matilah dalam kea-daan syahid”. [17]
---------------------------------
[16] HR. Abu Daud 4/41 dan lihat pula Shahih Abi Dawud, 2/760.
[17] HR. Ibnu Majah 2/1178, Al-Baghawi 12/41 dan lihat Shahih Ibnu Majah 2/275.
________________________________________
5-BACAAN KETIKA MELETAKKAN PAKAIAN 


9- بِسْمِ اللهِ.
 
5. Dengan nama Allah (aku meletakkan baju). [18]
---------------------------------
[18] HR. At-Tirmidzi 2/505 dan Imam yang lain. Lihat Irwa’ul Ghalil, 49 dan Shahihul Jami’ 3/203..

Tidak Mempertentangkan Nash-Nash Wahyu Dengan Akal.

manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah


Semua firqah ahli kalam yang suka menakwilkan sifat-sifat Allah, ternyata satu sama lain saling bertentangan, dan secara diametral pendapatpendapatnya saling berlawanan sama sekali. Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi terlalu jauh, lihat saja misalnya, di dalam kitab Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana cara ahlu kalam yang tercermin pada ta'wil nya terhadap sifat istiwa' dalam firman Allah Ta'ala.
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas "Arsy". [Thaha : 5].

Dalam kitab ini, istiwa' di ta'wil-kan dengan taslith alquwwah wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta kekuasaan-Nya)". Kita perhatikan ta'wil itu berbeda bahasanya dengan ta'wil-nya kaum Asy'ariyah terhadap istiwa' tersebut yaitu istiila' (berkuasa), ta'wil yang juga dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Namun model ta'wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak menggunakan istilah istiila, melainkan dengan istilah Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.

Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab konsekwensi dari kata-kata itu menunjukan bahwa 'Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan Allah, sebelum Allah ber- 'istiwa (bersemayam) di atasnya. Penulis buku tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, -pen- ) bisa terperosok pada pemahaman yang rusak. Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang ditempuh oleh kaum salaf dalam mengimani sifat 'istiwa. Walaupun sebenarnya hanya mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan salaf, pen), yakni orang-orang Asy'ariyah. Akan tetapi kenyataannya ia setuju dengan madzhab tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya :
"Itulah makna yang jelas, yang bisa dimengerti menurut bahasa Arab"(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar'u Ta'arudh al-Aql wa an-Naql, jilid 5/382), mengatakan :"Adapun ta'wil dalam arti 'mengalihkan satu lafal dari kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan makna yang marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti 'istiwa menjadi istaula, dan seterusnya maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam jelas merupakan kebatilan.
Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal ini meruapak tahrif (mengubah) kata-kata dari yang semestinya dan termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma' Allah serta ayat-ayat-Nya." Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan pernyataannya sebagai berikut : "Mereka
menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan "kekuatan dan kemurahan", al-'Ain (mata) dengan "pertolongan dan pemeliharaan", dan menafsirkan al- Ishba'ain (dua jari-jari) yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654, dengan "kehendak dan kekuasaan". Begitulah seterusnya. Mereka merubah-rubah sifat-sifat Allah Ta'ala tanpa disertai sebuah dalilpun, baik dari al- Qur'an maupun as-Sunnah. Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj salaf ialah menolak ta'wil model ahlu kalam. Dan cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf satu ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta'ala berikut :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui". [Al-
Hujuraat : 1].

Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di antara mereka yang mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat kepadanya yang dikatakan oleh Allah dan Rasul- Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir dan dengannyalah ia berdalil.

Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung seberang yang sama sekali berlawanan, berdiri tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang mempercayakan sandarannya kepada ra'yu (pendapatnya). Sesudah ra'yu, mereka memperhatikan al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila didapati nash-nash tersebut bersesuaian dengan akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi, jika mereka dapati bertentangan, maka akan mereka singkirkan atau mereka otak-atik dengan ta'wil.( Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47)

Ta'wil Bisa Dibenarkan bila Maksudnya Tafsir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Sesungguhnya lafal ta'wil menurut
pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta'wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.( Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim)

Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur'an terdahulu memahami lafal ta'wil dengan maksud tafsir. Ta'wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskantafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : "Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-'Ilmi) jika memahami tentang ta'wil, maka maksud ta'wil itu
adalah tafsir yang telah disebutkan Ibnu Abbas padanya".

Adapun lafal ta'wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah "hakikat", yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta'ala, misalnya ta'wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta'wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha
Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta'wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta'ala sendiri.

Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :"Istiwa' telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)". Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa'. Inilah yang disebut ta'wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat
merenungi, memahami dan mengerti. Sedangkan perkataan mereka "Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui).

Hal ini adalah ta'wil yang hanya bisa diketahui olehAllah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya". Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula : " ...... sesungguhnya yang dimaksud dengan lafal ta'wil dalam Al-Qur'an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dengan makna yang ditunjukan dan dipahami dari zhahirnya lafadz".(Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9)

Terkadang pula yang dimaksud dengan ta'wil adalah penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta'wil dengan makna kedua inilah yang menjadi istilahnya mufassir terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah ta'wil kadang juga dimaksudkan dengan pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada suatu dalil yang mengiringinya. Pengkhususan istilah ta'wil dengan makna terakhir ini hanya ada pada pembicaraan kaum muta'akhirin. Adapun para shahabat, tabi'in dan semua imam imam kaum muslimin, seperti imam yang empat dan imam yang lain, mereka tidak menghususkan istilah ta'wil tersebut untuk makna yang terakhir itu, tetapi yang mereka kehendaki dengan ta'wil adalah makna yang petama dan kedua. Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang muta'akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat) ta'wil pada Al-Qur'an atau Hadits hanya bermakna khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti
dalam firman Allah :
"Artinya : ...Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb kami". [Ali-Imran : 7].
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas adalah pada :
"Artinya : .. Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah".

Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai makna-makna yang berlainan dengan makna yang langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yang dikehendaki dari nash tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja.

Bahkan Malaikat yang turun membawa Al-Qur'an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak bisa mengetahui maknamaknanya. Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi'in. Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca firman firman Allah berikut :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas 'Arsy". [Thaha : 5].
"Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik". [Faathir : 10].
"Tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". [Al-Maidah: 64].
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun tidak memahami kata-katanya sendiri ketika bersabda :
"Artinya : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiaptiap
malam ...." [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].

Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari nash di atas, tidak dapat dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah caranya kaum salaf".

Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata(Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15) : "Ayat-ayat yang disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni yang tidak dapat diketahui ta'wil-nya kecuali oleh Allah ; yang dimaksud "tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah" hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana hanya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa') di atas 'Arsy". [Thaha : 5].
"Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa' (bersemayam) ?" Beliau menjawab : "Al-Istiwa' telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat istiwa' [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul).

Beriman terhadap istiwa'-Nya wajib dan bertanya tentang "Bagaimana (hakikat)nya adalah bid'ah". Demikian pula sebelumnya, Rabi'ah dan Ibnu 'Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa dengan jawaban Imam Malik. Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa' telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) adalah majhul (tidak dapat dimengerti).

Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di antara arti ta'wil yang tidak dapat dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yang dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang lainnya, maka itu adalah ta'wil yang bermakna tafsir yang telah dijelaskan maknanya oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah memerintahkan supaya kita
menghayati Al-Qur'an dan telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an untuk dipahami. Sedangkan penghayatan serta pemahaman tidak mungkin akan bisa dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dengan lafal-lafal yang mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami dan dihayati.

MENGENAL ISIM

Pembaca yang budiman, pada bulan lalu kita telah mempelajari pengertian isim dan dilanjutkan dengan isim mudzakar dan muanats. Kali ini kita akan mempelajari bagian lain dari isim. Semoga Alloh memberi kemudahan untuk mempeljarinya.

مُفْرَد - مُثَنَّى - جَمْع
MUFRAD (Tunggal) - MUTSANNA (Dual) - JAMAK
Dari segi bilangannya, bentuk-bentuk Isim dibagi tiga:
1) ISIM MUFRAD (tunggal) kata benda yang hanya satu atau sendiri.
2) ISIM MUTSANNA (dual) kata benda yang jumlahnya dua.
3) ISIM JAMAK (plural) atau kata benda yang jumlahnya lebih dari dua.
Isim Mutsanna (Dual) bentuknya selalu beraturan yakni diakhiri dengan huruf Nun Kasrah ( نِ ), baik untuk Isim Mudzakkar maupun Isim Muannats. Contoh:
Mufrad Tarjamah Mutsanna Tarjamah
رَجُلٌ = seorang laki-laki رَجُلاَنِ = dua orang laki-laki
جَنَّةٌ = sebuah kebun جَنَّتَانِ = dua buah kebun
مُسْلِمٌ = seorang muslim مُسْلِمَانِ = dua orang muslim
مُسْلِمَةٌ = seorang muslimah مُسْلِمَتَانِ = dua orang muslimah
Adapun Isim Jamak, dari segi bentuknya terbagi dua macam:
1. JAMAK SALIM ( جمْع سَالِم ) yang bentuknya beraturan:
Mufrad Tarjamah Jamak Tarjamah
اِبْنٌ = seorang putera بَنُوْنَ = putera-putera
بِنْتٌ = seorang puteri بَنَاتٌ = puteri-puteri
مُسْلِمٌ = seorang muslim مُسْلِمُوْنَ = muslim-muslim
مُسْلِمَةٌ = seorang muslimah مُسْلِمَاتٌ = muslimah-muslimah
2. JAMAK TAKSIR (جَمْع تَكْسِيْر ) yang bentuknya tidak beraturan:
Mufrad Tarjamah Jamak Tarjamah
رَسُوْلٌ = seorang rasul رُسُلٌ = rasul-rasul
عَالِمٌ = seorang alim عُلَمَاءُ = orang-orang alim
رَجُلٌ = seorang laki-laki رِجَالٌ = para laki-laki
اِمْرَأَةٌ = seorang perempuan نِسَاءٌ = perempuan-perempuan
Ingat, jangan melangkah ke halaman selanjutnya sebelum mengerti pelajaran di atas dan menghafal semua kosa kata yang baru anda temukan!

AQIDAH AHLUS SUNNAH bag. II

Pembaca yang budiman, pada bulan lalu kita telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah, kali ini kita akan menyampaikan aqidah ahlus sunnah yang lain. Semoga bermanfaat

33. (Muhammad)Kekasih Rabb sekalian alam.

34. Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

35. Beliau diutus kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, denganmembawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.

36. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak
diketahui kaifiyah (bagaimana)nya, diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani
oleh kaum mukminin dengan sebenar-benarnya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi
yang sesungguhnya. Bukanlah sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya.
Barangsiapa yang mendengarnya (mendengar bacaan Al-Qur’an) dan menganggap itu
sebagai ucapan makhluk, maka ia telah kafir. Allah sungguh telah mencelanya,
menghinanya, dan mengancamnya dengan Naar (Neraka) Saqar. Allah berfirman:
“Aku akan memasukkan ke dalam (Naar) Saqar.” (QS. Al-Muddatsir: 26). Allah mengancam
mereka dengan Naar Saqar tatkala mereka mengatakan:
“Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Muddatsir : 25). Dengan itu
kita pun mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan
tidak menyerupai ucapan manusia.

37. Barangsiapa yang mensifati Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia sungguh telah kafir. Barangsiapa yang memahami hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan
dapat menghindari ucapan yang seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidaklah seperti makhluk-Nya.

38. Melihat Allah adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa
dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami
hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al-Qur’an:
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah.
Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya
adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk
mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa
nafsu kita.

39. Sesungguhnya seseorang tidak akan selamat dalam agamanya, sebelum ia berserah diri
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang
yang mengetahuinya.

40. Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan
kepada Allah.

41. Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya
untuk pasrah, maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk
memurnikan tauhid, menjernihkan ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan.

42. Maka menjadilah ia orang yang terombang-ambing antara keimanan dan kekufuran,
pembenaran dan pendustaan, pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tidak
bisa dikatakan ia membenarkan dan beriman, tidak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.

43. Tidak sah keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandangRabb mereka, yang semata-mata ditegakkan di atas prasangka (keragu-raguan)
menganggapnya sebagai ‘praduga’ atau takwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran
‘penglihatan’ itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb,
haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran
dien/keyakinan kaum muslimin.

44. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian Asma’ dan shifat Allah atau menyerupakan-
Nya dengan makhluk-Nya, dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.

45. Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah
(Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari
hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

46. Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk,
anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang
mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.

47. Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan
dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke
tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan
mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan.
“Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dilihatnya.” (QS. An-Najm: 11).
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.

48. Haudh (telaga) Al-Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi
umatnya- adalah benar adanya.

49. Syafa’at yang diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar adanya sebagaimana
diriwayatkan dalam banyak hadits.

50. Perjanjian yang diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka
dilahirkan-pent.) adalah benar adanya.

51. Semenjak zaman yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan
masuk Jannah dan yang akan masuk Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan
bertambah atau berkurang. Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah
Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
52. Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang berbahagia dengan ketentuan kodratnya. Demikian juga orang yang celaka adalah yang celaka dengan ketentuan kodratnya.

53. Asal dari takdir adalah rahasia Ilahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Tak dapat
diselidiki baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya.
Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga
keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Waspadai dan waspadailah seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikanbisikan tentang takdir tersebut. Sesungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.”
(QS. Al-Anbiyaa’: 23).
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Dia lakukan itu?”, berarti ia menolak hukum Al-
Qur’an. Barangsiapa menolak hukum Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

54. Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hatinya terang dari
kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Karena
ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama-pent.) dan ilmu
yang terselubung baginya (ilmu ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran.
Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan itu hanyalah
terpatri dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari
mencari ilmu yang terselubung.

55. Kita juga mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz, Al-Qalam, dan segala yang tercatat di
dalamnya.

56. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan untuk terjadi, agar urusan itu batal, mereka tak akan mampu untuk mengubahnya.
Sebaliknya seandainya mereka berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkan
untuk tidak terjadi, agar urusan itu terjadi, merekapun tidak akan mampu mengubahnya.
Qalam (catatan) Allah telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai
datangnya Hari Kiamat.

57. Sesuatu yang -ditakdirkan- tidak akan menimpa seorang hamba, maka tidak akan
menimpanya. Dan yang akan mengenainya, maka tidak akan meleset.

58. Hendaknya seorang hamba tahu bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa
berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat
membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, menggantinya, mengurangi,
ataupun menambahnya.

59. Itulah buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an dan ke-Rububiyyah-an Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan : 2). Dan firman-Nya:
“Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab : 38).

60. Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya.
Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia
telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi.
Akhirnya ia kembali dengan membawa dosa dan kedustaan.

Selasa, 04 Januari 2011

"HAMAN" DAN BANGUNAN MESIR KUNO

TSAQOFAH


Al Qur'an mengisahkan kehidupan Nabi Musa AS dengan sangat jelas. Tatkala memaparkan perselisihan dengan Fir'aun dan urusannya dengan Bani Israil, Al Qur'an menyingkap berlimpah keterangan tentang Mesir kuno. Pentingnya banyak babak bersejarah ini hanya baru-baru ini menjadi perhatian para pakar dunia. Ketika seseorang memperhatikan babak-babak bersejarah ini dengan pertimbangan, seketika akan menjadi jelas bahwa Al Qur'an, dan sumber pengetahuan yang dikandungnya, telah diwahyukan oleh Allah Yang Mahatahu dikarenakan Al Qur'an bersesuaian langsung dengan seluruh penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan, sejarah dan kepurbakalaan di masa kini.

Satu contoh pengetahuan ini dapat ditemukan dalam paparan Al Qur'an tentang Haman: seorang pelaku yang namanya disebut di dalam Al Qur'an, bersama dengan Fir'aun. Ia disebut di enam tempat berbeda dalam Al Qur'an, di mana Al Qur'an memberitahu kita bahwa ia adalah salah satu dari sekutu terdekat Fir'aun.

Anehnya, nama “Haman” tidak pernah disebutkan dalam bagian-bagian Taurat yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Musa AS. Tetapi, penyebutan Haman dapat ditemukan di bab-bab terakhir Perjanjian Lama sebagai pembantu raja Babilonia yang melakukan banyak kekejaman terhadap Bani Israil kira-kira 1.100 tahun setelah Nabi Musa AS. Al Qur'an, yang jauh lebih bersesuaian dengan penemuan-penemuan kepurbakalaan masa kini, benar-benar memuat kata “Haman” yang merujuk pada masa hidup Nabi Musa AS.

Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap Kitab Suci Islam oleh sejumlah kalangan di luar Muslim terbantahkan tatkala naskah hiroglif dipecahkan, sekitar 200 tahun silam, dan nama “Haman” ditemukan di naskah-naskah kuno itu. Hingga abad ke-18, tulisan dan prasasti Mesir kuno tidak dapat dipahami. Bahasa Mesir kuno tersusun atas lambang-lambang dan bukan kata-kata, yakni berupa hiroglifik. Gambar-gambar ini, yang memaparkan kisah dan membukukan catatan peristiwa-peristiwa penting sebagaimana kegunaan kata di zaman modern, biasanya diukir pada batu dan banyak contoh masih terawetkan berabad-abad. Dengan tersebarnya agama Nasrani dan pengaruh budaya lainnya di abad ke-2 dan ke-3, Mesir meninggalkan kepercayaan kunonya beserta tulisan hiroglif yang berkaitan erat dengan tatanan kepercayaan yang kini telah mati itu. Contoh terakhir penggunaan tulisan hiroglif yang diketahui adalah sebuah prasasti dari tahun 394. Bahasa gambar dan lambang telah terlupakan, menyisakan tak seorang pun yang dapat membaca dan memahaminya. Sudah tentu hal ini menjadikan pengkajian sejarah dan kepurbakalaan nyaris mustahil. Keadaan ini tidak berubah hingga sekitar 2 abad silam.

Pada tahun 1799, kegembiraan besar terjadi di kalangan sejarawan dan pakar lainnya, rahasia hiroglif Mesir kuno terpecahkan melalui penemuan sebuah prasasti yang disebut “Batu Rosetta.” Penemuan mengejutkan ini berasal dari tahun 196 SM. Nilai penting prasasti ini adalah ditulisnya prasasti tersebut dalam tiga bentuk tulisan: hiroglif, demotik (bentuk sederhana tulisan tangan bersambung Mesir kuno) dan Yunani. Dengan bantuan naskah Yunani, tulisan Mesir kuno diterjemahkan. Penerjemahan prasasti ini diselesaikan oleh orang Prancis bernama Jean-Françoise Champollion. Dengan demikian, sebuah bahasa yang telah terlupakan dan aneka peristiwa yang dikisahkannya terungkap. Dengan cara ini, banyak pengetahuan tentang peradaban, agama dan kehidupan masyarakat Mesir kuno menjadi tersedia bagi umat manusia dan hal ini membuka jalan kepada pengetahuan yang lebih banyak tentang babak penting dalam sejarah umat manusia ini.

Melalui penerjemahan hiroglif, sebuah pengetahuan penting tersingkap: nama “Haman” benar-benar disebut dalam prasasti-prasasti Mesir. Nama ini tercantum pada sebuah tugu di Museum Hof di Wina. Tulisan yang sama ini juga menyebutkan hubungan dekat antara Haman dan Fir'aun. 1

Dalam kamus People in the New Kingdom , yang disusun berdasarkan keseluruhan kumpulan prasasti tersebut, Haman disebut sebagai “pemimpin para pekerja batu pahat”. 2

Temuan ini mengungkap kebenaran sangat penting: Berbeda dengan pernyataan keliru para penentang Al Qur'an, Haman adalah seseorang yang hidup di Mesir pada zaman Nabi Musa AS. Ia dekat dengan Fir'aun dan terlibat dalam pekerjaan membuat bangunan, persis sebagaimana dipaparkan dalam Al Qur'an.

Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (QS. Al Qashas, 28:38)

Ayat dalam Al Qur'an tersebut yang mengisahkan peristiwa di mana Fir'aun meminta Haman mendirikan menara bersesuaian sempurna dengan penemuan purbakala ini. Melalui penemuan luar biasa ini, sanggahan-sanggahan tak beralasan dari para penentang Al Qur'an terbukti keliru dan tidak bernilai intelektual.

Secara menakjubkan, Al Qur'an menyampaikan kepada kita pengetahuan sejarah yang tak mungkin dimiliki atau diketahui di masa Nabi Muhammad SAW. Hiroglif tidak mampu dipecahkan hingga akhir tahun 1700-an sehingga pengetahuan tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya di masa itu dari sumber-sumber Mesir. Ketika nama “Haman” ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno tersebut, ini menjadi bukti lagi bagi kebenaran mutlak Firman Allah.

Paulus Menciptakan Kristen dan Menghancurkan Nasrani


DOSA PAULUS TERHADAP YESUS

Oleh: DR. Wadi’ Ahmad

Aku memuji Allah yang telah memberikah hidayah kepadaku terhadap Islam setelah aku hidup sekitar 40 (empat puluh) tahun dalam kesyirikan agama Kristen. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, serta penutup para nabi, dan penghulu seluruh Rasul, dan aku bersaksi bahwa al-Masih, Isa putra Maryam (yang dipanggil dengan sebutan Yesus) adalah hamba Allah, dan Rasul-Nya kepada Bani Isarail.

Paulus Peletak Batu Pertama

Di antara perkara paling mengherankan yang ada di dalam al-Kitab milik umat kristiani adalah Surat-Surat Paulus yang dijadikan oleh setiap sekte Kristen sebagai alasan agar bisa berbeda dari sekte yang lain, dan bisa mengkafirkan serta memeranginya. Hal itu dikarenakan di dalam surat tersebut terdapat perkataan-perkataan yang tidak stabil dan bertentangan.

Saya katakan kepada orang-orang Kristen, bahwa surat-surat tersebut adalah penyebab kesesatan dan penyelewengan mereka dari agama yang asli (agama Nabi Isa/Yesus) kepada agama Kristen yang dibuat oleh Paulus untuk mereka. Yang demikian itu adalah berdasarkan pengakuan kitab Bibel mereka sendiri.

Setelah saya meneliti surat-surat tersebut, saya mendapatkan bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang Kristen sekarang tentang penyembahan mereka kepada al-Masih ternyata Paulus maupun para penulis Injil tidak pernah lancang mengatakannya, seperti:
Paulus tidak pernah sama sekali menyebutkan bahwa al-Masih (Yesus) adalah Allah, bahkan dia selalu menjadikannya sebagai Tuhan setelah Allah (Tuhan Bapak).
Paulus tidak pernah menyebut sama sekali bahwa Allah dan al-Masih (Yesus) adalah satu.
Paulus tidak pernah menyebut bahwa al-Masih (Yesus) sejajar dengan Allah dalam dzat.
Paulus tidak pernah sama sekali menyebut lafazh Tsaluts (Tiga serangkai): Allah (Tuhan Bapak), Yesus (Tuhan Anak), dan Roh Kudus, bersama-sama, atau bahkan lafazh Tatslits (trinitas).
Seluruh surat Paulus mengakui bahwa Allah (Tuhan Bapak) adalah Yang Maha Besar, Yang Maha Utama, Sang Pencipta, Sang Pemberi Anugerah, Pelaku, Yang Maha Kuasa… dan seterusnya. Dan setelahnya datang al-Masih (Yesus, Tuhan Anak) sebagai obyek penderita dan yang selalu mengambil dari Tuhan Bapak.
Paulus atau selainnya dari para murid tidak menyebutkan keyakinan kristiani tentang Bunda Maria (Maryam), karena mereka menjadikannya sebagai ibu bagi sesembahan atau Tuhan mereka dan menyebutnya Oum El Nour (Bunda Cahaya) sebagai isyarat kepada keyakinan ini. Dan “Cahaya” yang mereka maksud adalah Allah. Paulus telah meletakkan batu pertama bagi pondasi agama Kristen, yang kemudian para Pastur dan Pendeta membangun puluhan bangunan di atas batu pondasi tersebut.



Kisah Kehidupan Paulus:

Sebagaimana telah disebutkan kisahnya pada Bibel, yaitu pada Kisah Para Rasul (yang mereka maksud dengan istilah para Rasul adalah murid-murid Yesus), dimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul (9) bahwa Paulus yang nama aslinya adalah Saulus (Saul), dulunya adalah seorang tentara Yahudi fanatik yang memerangi dan membantai orang-orang yang beriman dengan risalah al-Masih (Yesus), dan hal itu terjadi beberapa tahun setelah kenaikan al-Masih.

Kemudian dia mengambil dari Kepala para imam Yahudi di Yerusalem kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik (Damaskus) agar mereka membantunya dalam menangkap setiap orang Kristen yang lari ke Damsyik. Kisah pelarian orang-orang Nasrani yang lari ke Damsyik tersebut tidak disebutkan kecuali oleh Injil Barnabas. Perhatikanlah, bahwa Yahudi kala itu berada di bawah penjajahan Romawi, lalu darimana kepala para Imam mereka, atau Paulus mendapatkan kekuasaan ini?! Di tengah perjalanan menuju Damsyik, memancarlah cahaya yang mengelilingi Paulus dan pasukannya; yaitu cahaya dari langit, lalu dia pun rebah ke tanah dan mendengar suara Yesus yang mengajaknya kepada iman. Kisah ini disebutkan dalam kitab Kisah Para Rasul yang sama hingga tiga kali, dan ketiganya adalah kisah yang kacau;

Kisah pertama; yaitu Kisah Para Rasul (9: 1-9) disebutkan bahwa orang-orang yang bersama dengan Saulus (Paulus) berdiri diam mendengarkan suara tersebut dan tidak melihat sesuatu pun[1]. Suara itu memerintahkan untuk masuk Damsyik, dimana dia akan tahu apa yang akan dia lakukan. Lalu dia pun diam di sana dalam keadaan buta selama tiga hari.

Kisah kedua; yaitu Kisah Para Rasul (22: 1-11) mengatakan bahwa orang-orang yang bersama dengannya tidak mendengar suara tersebut, akan tetapi mereka melihat cahaya dan ketakutan.[2]

Kisah ketiga; yaitu Kisah Para Rasul (26: 10-17) mengatakan bahwa karena kuatnya cahaya tersebut, Saulus (Paulus) dan orang-orang yang bersama mereka rebah ke bumi, dan suara itu mengatakan: Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan Aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan. (Kisah Para Rasul 26: 17-18)

Lalu diapun pergi ke Damsyik dan Yerusalem dan memerintahkan mereka untuk bertaubat kepada Allah?![3]

Adapun kebangsaannya, maka Paulus sendiri berkata bahwa dia adalah seorang Romawi (Kisah Para Rasul 16:37-38)[4] kemudian dia berkata bahwa dia adalah seorang Yahudi dari negeri Tarsus di Asia kecil (Kisah Para Rasul 21: 39)[5] kemudian dia kembali, dan berkata bahwa dia adalah seorang Romawi (Kisah Para Rasul 22:25)[6] kemudian dia kembali, dan berkata bahwa dia adalah seorang Yahudi Farisi, yaitu termasuk pemuka agama kaum Saduki (Kisah Para Rasul 23:6)[7] kemudian dia pergi ke negeri Ikonium di Asia kecil, dan di sanalah dia membuat gereje, kependetaan, dan keuskupan.

Kemudian dengan tiba-tiba dia mulai menyerang setiap orang yang menjaga pengamalan syariat Allah bagi Nabi Musa ‘alaihi salam, terutama khitan (Kisah Para Rasul 15:2)[8] di negeri Antiokhia yang di dalamnya dia membangun pondasi agama Kristen. Dimana dia berselisih dengan kaum Yahudi yang telah masuk Nasrani melalui kedua tangannya sebelum itu. Kemudian dia kembali ke Yerusalem bersama dengan Barnabas di mana dia berhasil meyakinkan Para Rasul (murid-murid al-Masih) agar mereka tidak memberatkan orang-orang yang baru beriman dengan menjaga seluruh syariat Taurat, dan agar mereka mencukupkan diri dengan mengharamkan berhala, dan apa yang disembelih untuk berhala tersebut, juga makan bangkai, darah, dan perzinaan. Kemudian berselisihlah Paulus dengan Barnabas, yang kemudian keduanya berpisah.

Kemudian mulailah Paulus bersifat munafik kepada setiap kelompok sesuai dengan keyakinan mereka. Dia pun mengkhitan muridnya, yaitu Timotius demi berbuat munafik kepada orang-orang Yahudi, setelah dia memerangi khitan. (Kisah Para Rasul 16)[9] dan aku tidak tahu apakah dia mengungkap hal itu kepada manusia untuk meyakinkan bahwa mereka telah dikhitan?!

Kemudian dia berbuat munafik kepada para penyembah berhala di Atena (Kisah Para Rasul 17) dan berkata seperti ucapan mereka, ‘kita berasal dari keturunan Allah’[10] kemudian dia melihat satu berhala bertuliskan “Tuhan tak dikenal”, maka dia berkata kepada mereka, aku datang kepada kalian untuk memberikan berita gembira kepada kalian tentang tuhan ini?!

Dia adalah seorang munafik papan atas; saat dia berbicara dengan orang Yahudi, maka dia memuji Taurat, saat dia berbicara dengan orang Yunani, dia menyerang yahudi dan Taurat.

Di Turki (yaitu Korintus, dan Efesus) dia mendapati bahwa Rasul Yohanes (Yahya bin Zakaria) telah mendahului dia di sana dan telah mengajarkan agama kepada manusia. Kemudian mereka berkata kepada Paulus, ‘kami belum pernah mendengar tentang roh kudus.’ Maka dia pun mengambil mereka dan mengajari mereka bid’ah barunya dalam agama, yaitu tentang ketuhanan roh kudus dan pembaptisan. (Kisah Para Rasul 18 dan 19)

Kemudian dia kembali ke Yerusalem di mana para Rasul (murid al-Masih) menekannya karena dia mengajari manusia untuk meninggalkan syariat Taurat, dan para Rasul tersebut memerintahkannya untuk menampakkan kepada orang-orang Yahudi bahwa dia mempraktekkan syari’at Musa ‘alaihi salam (Kisah Para Rasul 21).

Kemudian, sekalipun demikian orang-orang Yahudi menangkapnya saat dia memasuki Kuil Solomon, kemudian mereka menyerahkannya kepada Wali Negeri guna mengadilinya. Di sinilah disebut “Syi’ah an-Nashiriyyin (sekte orang Nasrani)”, maksudnya adalah Nashara (Kisah Para Rasul 24)[11], dan dia berkata bahwa Paulus adalah pemimpinnya (Kisah Para Rasul 26), lalu Wali Negeri menuduhnya gila (Kisah Para Rasul 26:24)[12] kemudian dia mengirimkan kepada Kaisar di Roma untuk mengadilinya. Dan di sanalah kemudian dia tinggal selama dua tahun bersama orang Yahudi (Kisah Para Rasul (28:17)[13] padahal kitab yang sama menyebutkan bahwa Kaisar mengusir setiap orang Yahudi dari Roma beberapa waktu sebelum kejadian tersebut (Kisah Para Rasul 18: 2)[14]

Di sanalah dia mengucapkan kalimat terakhirnya kepada orang Yahudi: “Sebab itu kamu harus tahu, bahwa keselamatan yang dari Allah ini disampaikan kepada bangsa-bangsa lain dan mereka akan mendengarnya." (Kisah Para Rasul 28:28) yaitu bangsa-bangsa lain selain Yahudi akan mendengar, yaitu beriman kepada Allah. Sejarah Nasrani menyebut bahwa Paulus dibunuh dengan pedang di Roma. (AR)*


[1] Kisah Para Rasul (9:7) Maka termangu-mangulah teman-temannya seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang jua pun.
[2] Kisah Para Rasul (22:9) Dan mereka yang menyertai aku, memang melihat cahaya itu, tetapi suara Dia, yang berkata kepadaku, tidak mereka dengar.
[3] Padahal pada Kisah Para Rasul (9:6) Yesus berkata, “Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat." Demikian pula pada Kisah Para Rasul (22:10) disebutkan: Kata Tuhan kepadaku: Bangkitlah dan pergilah ke Damsyik. Di sana akan diberitahukan kepadamu segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu.
[4]Kisah Para Rasul (16:37-38) Tetapi Paulus berkata kepada orang-orang itu: "Tanpa diadili mereka telah mendera kami, warganegara-warganegara Roma, di muka umum, lalu melemparkan kami ke dalam penjara. Sekarang mereka mau mengeluarkan kami dengan diam-diam? Tidak mungkin demikian! Biarlah mereka datang sendiri dan membawa kami ke luar." Pejabat-pejabat itu menyampaikan perkataan itu kepada pembesar-pembesar kota. Ketika mereka mendengar, bahwa Paulus dan Silas adalah orang Rum, maka takutlah mereka.
[5] 21:39 Paulus menjawab: "Aku adalah orang Yahudi, dari Tarsus, warga dari kota yang terkenal di Kilikia; aku minta, supaya aku diperbolehkan berbicara kepada orang banyak itu."
[6] 22:25 Tetapi ketika Paulus ditelentangkan untuk disesah, berkatalah ia kepada perwira yang bertugas: "Bolehkah kamu menyesah seorang warganegara Rum, apalagi tanpa diadili?"
[7] 23:6. Dan karena ia tahu, bahwa sebagian dari mereka itu termasuk golongan orang Saduki dan sebagian termasuk golongan orang Farisi, ia berseru dalam Mahkamah Agama itu, katanya: "Hai saudara-saudaraku, aku adalah orang Farisi, keturunan orang Farisi; aku dihadapkan ke Mahkamah ini, karena aku mengharap akan kebangkitan orang mati."
[8] 15:1. Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan."
15:2 Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu.
[9] 16:3 dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani.
[10] 17:29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.
[11] 24:5 Telah nyata kepada kami, bahwa orang ini adalah penyakit sampar, seorang yang menimbulkan kekacauan di antara semua orang Yahudi di seluruh dunia yang beradab, dan bahwa ia adalah seorang tokoh dari sekte orang Nasrani
[12] 26:24. Sementara Paulus mengemukakan semuanya itu untuk mempertanggungjawabkan pekerjaannya, berkatalah Festus dengan suara keras: "Engkau gila, Paulus! Ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila."
[13] 28:17. Tiga hari kemudian Paulus memanggil orang-orang terkemuka bangsa Yahudi dan setelah mereka berkumpul, Paulus berkata: "Saudara-saudara, meskipun aku tidak berbuat kesalahan terhadap bangsa kita atau terhadap adat istiadat nenek moyang kita, namun aku ditangkap di Yerusalem dan diserahkan kepada orang-orang Roma.
[14] 18:2 Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka.

Sumber: Majalah Qiblati Edisi 11 Tahun V