Manhaj AHLUS SUNNAH
Kaidah yang paling pertama ialah ittiba' kepada assalafu ash-shalih dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya) dan tanpa ta'wil (membuat perubahan lafadz/maknanya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal. Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya berqudwah (mengikuti jejak dan mengambil suri teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para shahabat) adalah orangorang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya. Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu-hawa nafsu dan bid'ah. ( 'Aqa'id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-Ma'arif. Iskandariyah )
Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
" Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat kembali". [An-Nisaa' : 115].
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah, selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash Al-Qur'an dan sunnah tersebut.
Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum
(terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa nafsu.
Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.
Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was- Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang
selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini.( Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309 )
Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma' Allah Ta'ala tanpa membuat penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya
sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta'ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya sendiri. (Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3 )
Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun berupa sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul
kalam dari kalangan Mu'tazilah, Maturidiyah dan Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal.
Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukumhukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.
Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara', mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut kepada syara'.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh
pada nash-nash itu, sebab "akal" menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. "Akal" bukanlah dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof.( Majmu' Fatawa, jilid 9, hal. 279 )
Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau
kenyataan alam ghaib ?.
Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al- Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna atau lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar